Jakarta pernah menempati urutan ke-3 sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia (1996) setelah Mexico City (Meksiko) dan Bangkok (Thailand). Bukannya membaik, tahun ini kualitas udara Jakarta bahkan mendapat penilaian sangat tidak sehat. Apa yang bisa kita lakukan?
Sehatalami.co ~ Meski Jakarta makin macet, pengap, dan terpolusi, rasanya sulit bagi penduduknya untuk meninggalkan ibukota tercinta ini. Entah jika ibukota negera jadi dipindah. Karena itu, kalau ingin bertahan di ibukota Republik Indonesia yang tersayang ini, kita perlu melakukan sesuatu untuk membuat udara kota Jakarta lebih sehat bagi kita maupun anak cucu kita.
Belum lama ini, kualitas udara Jakarta masuk dalam kategori sangat tidak sehat dengan Nilai Indeks Kualitas Udara (AQI) Jakarta sebesar 240. Penghitungan AQI didasarkan dari lima polutan udara utama, yaitu ozon tingkat dasar, polusi partikel, karbon monoksida, sulfur dioksida, dan nitrogen dioksida. Kategori sangat tidak sehat berada pada rentang nilai AQI 200-300, di mana dapat memengaruhi kesehatan masyarakat.
Pada Selasa (25/6/2019) siang, Jakarta berada di urutan keempat setelah Dubai, New Delhi, dan Santiago dengan nilai indeks 164. Namun, angka tersebut juga masih berada di kategori tidak sehat, dengan rentang 151-200.
Mengandalkan pemerintah saja tidak cukup. Bersama-sama akan ditemukan solusi secara lebih cepat dan lebih sempurna. Tapi sebelum bertindak, perlu kita ketahui dulu apa saja yang membuat Jakarta menjadi kota yang tidak sehat. Pertumbuhan jumlah kendaraan di DKI Jakarta mencapai 10,9% per tahun.
Stop Volume Kendaraan Bermotor?
Dengan laju pertumbuhan setinggi ini, jumlah kendaraan di Jakarta pada tahun 2010 saja telah mencapai 11.362.396 unit (Polda Metro Jaya, Agustus 2010) terdiri dari 8.244.346 unit kendaraan roda dua dan 3.118.050 unit kendaraan roda empat, jauh melampaui jumlah penduduk Jakarta yang hanya 9.558.198 jiwa.
Kemacetan diperparah karena panjang jalan di Jakarta hanya sekitar 7.650 kilometer untuk luas 40,1 kilometer persegi, atau hanya 6,26% dari luas wilayahnya. Padahal, perbandingan ideal antara prasarana jalan dan luas wilayah adalah 14%. Berarti, Jakarta harus membangun sedikitnya, dua kali lebih banyak jalan dari sekarang. Mungkinkah?
Sudah begitu, sebagian besar kendaraan bermotor ini menghasilkan emisi gas buang yang buruk, karena para pemilik kendaraan tidak memberikan perawatan yang memadai atau menggunakan bahan bakar berkualias kurang baik. Sementara laporan World Bank (2009) menyatakan bahwa 70% sumber pencemar udara berasal dari emisi gas buang kendaraan bermotor.
Bisa dimengerti mengapa kemacetan makin sulit diatasi dan pencemaran udara semakin meningkat.
Apa yang harus dilakukan ?
- Batasi kepemilikan kendaraan pribadi untuk menekan efek negatif polusi yang ditimbulkan.
- Lebih disiplin melakukan uji emisi untuk mengetahui kadar partikel dan karbon kendaraan bermotor mesin bensin. Ini berlaku untuk mobil pribadi maupun angkutan umum.
- Berikan sanksi tegas jika ada emisi yang melebihi ambang batas.
- Berbesar hati jika dalam waktu dekat ini pemerintah DKI Jakarta menerapkan Electronic Road Pricing (ERP) atau jalan berbayar, di ruas jalan yang sebelumnya diberlakukan sistem 3 in 1.
- Perbaiki fasilitas angkutan umum agar para pengguna kendaraan pribadi tidak segan beralih ke kendaraan umum. (bersambung).