Padahal persyaratan WHO untuk air bersih adalah 0% bakteri E. coli. Tingginya kandungan bakteri E. coli ini membuat sebagian air tanah di Jakarta tidak lagi layak untuk dikonsumsi karena dapat menimbulkan gangguan kesehatan seperti tifus, kolera, hepatitis, diare, dan sebagainya.
Selain itu, kandungan zat kimia anorganik, seperti besi (Fe) dan mangan (Mn), juga keasaman (pH) dan kandungan detergen dalam air di beberapa lokasi di Jakarta juga melebihi ambang baku mutu (Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah/BPLHD DKI Jakarta, 2006).
Menurut Arie, memburuknya kualitas air tanah di Jakarta berhubungan dengan semakin padatnya penduduk. Sisa aktivitas manusia di permukaan tanah, baik berupa limbah/sampah, udara kotor dari kendaraan bermotor, juga sisa metabolisme manusia itu sendiri mencemari air tanah di sekitarnya. Curah hujan yang tinggi juga ikut mempercepat masuknya polutan itu ke dalam air tanah, terutama polutan yang sulit terurai seperti pestisida, bensin, dan sisa-sisa chip elektronik.
Kondisi air minum semakin buruk karena polusi di permukaan tanah juga dibawa oleh air hujan menuju ke sungai, yang adalah sumber bahan baku air minum untuk Perusahaan Air Minum (PAM), yang juga digunakan sebagian masyarakat. Arie menjelaskan, ”Teknologi yang dipakai oleh Perusahaan Air Minum saat ini sebenarnya sudah optimal dan sesuai dengan standar baku pengolahan air minum, tetapi kualitas hasil akhir airnya sangat ditentukan oleh kualitas air baku dan pencemar yang terkandung di dalamnya”.
Menghilangkan polutan di dalam air
”Pencemar dalam air sekarang sangat bervariasi,” kata Arie. Beberapa jenis pencemar air bisa dikenali keberadaannya lewat warna, bau, atau rasanya. Arie mencontohkan, air yang mengandung nitrat atau mangan biasanya terasa pahit, yaitu kalau kadar asamnya terlalu tinggi atau terlalu rendah, akan terasa getir di lidah. Sementara yang banyak mengandung besi akan berbau amis. (bersambung).