Tanpa disadari, setiap hal yang kita lakukan menorehkan jejak di bumi tempat kita tinggal. Masih adakah tempat tersisa di bumi ini, untuk jejak-jejak yang telah, sedang, dan akan kita tinggalkan. Pertanyaanya, baik atau burukkah jejak yang kita tinggalkan?
Sehatalami.co ~ Pernahkah Anda mendengar istilah Ecological Footprint atau yang kemudian diindonesiakan menjadi ‘jejak ekologi’? Istilah tersebut sering disebut-sebut oleh orang-orang yang aktif menularkan pesan untuk peduli pada lingkungan.
Istilah jejak ekologi ini pertama kali muncul tahun 1992. Adalah William Rees, seorang Guru Besar Ekologi dari University of British Columbia yang memperkenalkannya. Sekitar 3 tahun setelah istilah ini pertama kali diperkenalkan, Rees dan anak didiknya, Mathis Wackernagel, menerbitkan sebuah buku yang menjelaskan lebih detail tentang konsep jejak ekologi, berjudul Our Ecological Footprint: Reducing Human Impact on the Earth.
Apa itu Jejak Ekologi?
Fachruddin M. Mangunjaya dalam buku Bertahan di Bumi: Gaya Hidup Menghadapi Perubahan Iklim menjelaskan bahwa jejak ekologi merupakan cara untuk mengukur dampak manusia terhadap alam dan lingkungan.
“Analisa jejak ekologi ini dilakukan dengan membandingkan gaya hidup dan konsumsi manusia terhadap sumber daya yang dibebankan pada kemampuan daya dukung alam (biocapacity) untuk mencukupi kebutuhan tersebut,” tulis Fachruddin.
Lebih lanjut Fachruddin menjelaskan, dampak atau beban manusia terhadap alam dikonversikan dengan luas daerah (baik tanah maupun perairan) yag dibutuhkan untuk menunjang hidup manusia sekaligus yang akan menyerap limbah yang akan kita hasilkan. Satuannya adalah global hektar (gha).
“Karenanya, seberapa luas yang kita butuhkan bergantung pada gaya hidup kita. Apakah boros, hemat, seberapa banyak limbah yang kita hasilkan, dan seberapa berbahaya untuk bumi,” papar Fachruddin. (bersambung).