Boleh jadi kita tidak bisa menghindar dari paparan zat kimia, baik dari bahan pangan yang kita konsumsi maupun dari peralatan makan yang kita gunakan. Tetapi siapa bilang, kembali ke pola makan sehat alami susah? Tips berikut ini bisa membantu Anda jauh lebih sehat.
Sehatalami.co ~ Pernahkan Anda mendengar ungkapan, An apple a day, keeps your doctor away; hati-hati dengan slogan ini, karena di antara buah yang lain, apel zaman sekarang ternyata banyak menyimpan residu pestisida. Nah, inilah salah satu paradok yang bisa kita temu dalam kehidupan saat ini.
Di satu sisi kita diminta kembali ke alam, untuk lebih banyak mengonsumsi bahan panan yang alami. Atau lebih dekat ke sumber aslinya. Namun di sisi lain, kita dihadapkan ada bahaya paparan pestisida, berbagai bahan kimia berbahaya makin bertebaran di sekitar kita.
Kita misalnya mengenal ada beragam jenis pestisida seperti dioxin, phthalates, PCBs (polychlorinated biphenyls), BPA (bisphenol A), dan logam merkuri. Melida W. Moyer dalam tulisannya Going Clean dimuat dalam Majalah Eatingwell (Oktober 2011) berbagi cara berlindung dari serbuan bahan-bahan kimia yang membahayakan kesehatan tersebut.
“Tidak mungkin terlindungi 100 persen, karena racun bersembunyi di tempat-tempat yang tidak terduga,” katanya.
Pengamatan serta perubahan-perubahan sederhana yang dilakukan Melinda untuk menyingkirkan bahan-bahan berbahaya tersebut bisa menjadi panduan keseharian kita.
Waspada pestisida
Berawal dari laporan The Cancer Panel, sebuah kelompok ilmiah pemerhati penyakit kanker di Amerika Serikat, pada tahun 2010 menyatakan bahwa penyebab kasus penyakit kanker yang semakin meningkat menimpa anak-anak, tidak bisa dijelaskan.
Fakta lain yang disebutkan kelompok tersebut, bahwa jumlah orang Amerika yang menderita kanker adalah yang tertinggi di dunia saat ini. Satu lagi, dari ribuan bahan kimia yang digunakan di Amerika Serikat, hanya sebagian kecil yang sudah teruji keamanannya.
Dalam aktivitas sehari-hari kita memang tidak langsung berhubungan dengan industri bahan kimia. Bahan kimia beracun itu masuk ke dalam tubuh kita sebagian besar menumpang pada makanan dan minuman. Bisa juga terhirup oleh napas, memapar kulit, mengalir dari air pertanian, bagian dari bahan wadah plastic, sampai menumpang hewan yang menjadi santapan kita.
Berdasar penelitian, senyawa-senyawa kimia tersebut berpotensi membahayakan kesehatan. Studi yang dilakukan oleh University of California, Berkeley, wanita hamil dengan kadar organophosphate pesticides (salah satu jenis pestisida sintetis) yang tinggi, melahirkan anak dengan nilai IQ yang rendah.
Sementara itu, hasil studiThe European Journal of Epidemiology, menemukan bahwa orang-orang yang bekerja di dekat ladang yang dipenuhi pestisida sintetik memiliki risiko terkena penyakit Parkinson, yaitu gangguan pada sistem saraf pusat. Beberapa pestisida – termasuk organophosphates – dikenal sebagai perusak kelenjar endokrin atau hormon. Ini patut diwaspadai mengingat hormon berperan penting mengatur sistem dalam tubuh, metabolisme, reproduksi, sampai nafsu makan.
Data yang dilansir Environmental Working Group’s Dirty Dozen menunjukkan 12 buah dan sayur setempat yang paling banyak mengandung pestisida, ternyata apel paling tinggi kadar pestisidanya, diikuti oleh seledri, stroberi, peach, dan bayam. Namun riset juga menunjukkan bahwa membersihkan buah dan sayur tersebut di bawah air yang mengalir mampu menggelontor pestisida.
Waspada dioksin dan merkuri
Dioxins (termasuk juga PCBs) merupakan pencemar yang dihasilkan sebagai bahan ikutan pembakaran sampah, hutan, juga proses industri.
Senyawa-senyawa tersebut lazim ditemukan di lingkungan sekitar kita, dan begitu masuk ke dalam tubuh, akan menetap di dalam lemak. Mereka biasanya stabil dan tetap bertahan dalam badan manusia maupun hewan selama bertahun-tahun.
Masalahnya makin parah saat hewan (misalnya sapi) disembelih, lemak-lemaknya yang tidak terpakai diberikan sebagai makanan untuk hewan lain, demikian tulis David Carpenter, MD, Direktur Institut Kesehatan & Lingkungan Universitas Albany. Oleh karenanya, pada tahun 2003 Akademi Nasional Ilmu Pengetahuan merekomendasikan agar pemerintah Amerika Serikat memprioritaskan untuk mengakhiri praktik tersebut.
Sebagai pecinta daging, yang dia lakukan adalah mengganti sebagian daging dan beralih ke ikan terutama ikan yang tidak berlemak (karena dioxins dan PCBs tertimbun dalam lemak), misalnya ikan cod. (untuk Indonesia bisa memilih ikan keluarga tuna, atau ikan-ikan yang mampu berenang cepat, bertubuh langsing-Red.). Ikan berbadan ramping , selain tidak berlemak juga relatif terjaga dari paparan polutan air laut, (misalnya merkuri). Hasil penelitian yang didapat Carpenter menunjukkan merkuri bisa membahayakan perkembangan otak bayi dan anak-anak.
Carpenter juga mulai mengonsumsi daging organic yang dihasilkan dari hewan yang diternakkan dengan hanya makan rumput. Hewan yang diternakkan dengan cara makan seperti itu umumnya lebih ramping dibanding hewan yang diberi gandum atau biji-bijian bahkan produk hewan semisal lemak hewan, sehingga relatif lebih murni dari toksin dalam lemak.
Carpoenter juga mulai memasak dengan lemak berbasis tumbuhan seperti minyak zaitun dan tidak lagi menggunakan mentega.
Waspada bungkus dan kaleng makanan
Membatasi makanan yang diproses dan dikemas, misalnya makanan yang dibekukan dan camilan yang dibungkus, berarti mengurangi konsumsi sodium, lemak trans, dan gula tambahan. Selain itu juga menutup sebagian pintu masuk bahan kimia phthalates ke dalam tubuh. Bahan ini dipakai sebagai campuran pembuatan plastik, efeknya melembutkan plastik.
Studi yang dilakukan Ruthann Rudel, MS, kepala lembaga riset di Silent Spring Institute, sebuah organisasi riset lingkungan dan kesehatan wanita (Maret 2011) , berinisiatif mengumpulkan urine 20 orang yang melakukan diet makanan dalam kemasan plastik. Kemudian ia meminta mereka untuk hanya memakan makanan segar tanpa dikemas selama tiga hari, lalu menguji urine mereka lagi.
Dalam kurun waktu beberapa hari tersebut, kadar phthalate berkurang lebih dari setengahnya. Phthalate dalam urine itu tidak bisa hilang sama sekali, karena kita tetap terpapar zat tersebut dari sumber lain, misalnya vinil karpet, interior mobil, dan peralatan rumahtangga lainnya.
Shanna Swan, PhD, wakil ketua bagian Preventive Medicine di Mt. Sinai School of Medicine di New York, mengetahui bahaya phthalates dengan baik; yaitu menurunkan kesuburan laki-laki.
Swan juga menemukan bahwa pria dengan kadar phthalates yang tinggi dalam darah mereka cenderung memiliki lingkar pinggang yang besar dan resistensi insulin, yaitu salah satu tanda-tanda dari gangguan diabetes tipe 2.
Kabar baiknya, seperti yang disarankan studi Rudel, phthalates tidak bertahan lama di dalam tubuh karena cepat dikeluarkan kembali.
Berdasarkan studi–studi tersebut, maka sebaiknya kita memilih makanan yang segar, tanpa kemasan, dan diproses seminimal mungkin. Membuat perubahan ini tidaklah mudah. Mulailah dengan membeli seledri dan wortel dari pasar – kemudian juga sayuran lainnya – menggantikan yang sudah dikemas apik di supermarket. Ini lebih aman karena mengurangi masuknya phthalates ke dalam tubuh, selain itu kita juga mengetahui dari mana asalnya makanan yang kita makan.
Waspada botol dan kaleng makanan
Dave Zuckerman, petani organik di Hinesburg, Vermont, terpapar sangat banyak BPA (biphenol A), bahan kimia yang biasa terdapat pada kaleng makanan. Padahal Dave mengaku tak banyak mengonsumsi makanan kaleng. Dia menuding botol –botol plastik yang dipakai ulang sebagai wadah minumannya (sampai 3 kali setiap hari selama bekerja di ladang).
Dua studi yang dipublikasikan di Universitas Exeter, Inggris, melaporkan tingginya paparan BPA tiap hari dan meningkatnya risiko penyakit jantung. Selain itu penelitian lain menyebutkan, semakin tinggi kandungan BPA dalam darah seorang pria makin sedikit produksi spermanya.
Sementara itu peneliti di Universitas North-Carollina (2009) melaporkan bahwa anak-anak yang terkena BPA dalam kadar tinggi saat dalam rahim, cenderung lebih agresif dan hiperaktif di usia 2 tahun. Canada dan Uni Eropa sudah melarang penggunaan bahan kimia tersebut pada botol bayi di tahun 2008 dan 2010..
Tidak perlu khawatir berlebihan
Dalam kenyataannya memang kita tidak ada yang mengetahui dengan pasti risiko sebenarnya dari racun yang ada dalam makanan kita. Hampir tidak mungkin untuk membuktikan bahwa bahan-bahan kimia tertentu akan menghasilkan efek-efek dalam kesehatan seperti yang dilaporkan, karena kita tidak bisa secara sengaja memasukkan bahan kimia ke dalam badan seseorang dan melihat apa yang terjadi.
Sementara sebagian besar riset yang diadakan sekarang memfokuskan pada efek dari tiap-tiap bahan kimia. Dalam praktik sehari-hari diperkirakan kita terkena sekaligus puluhan bahan – bahan tersebut. Selain itu, racun memasuki badan kita bukan hanya dari makanan tapi juga bisa melalui karpet, bahan kimia yang disemprotkan pada rumput, bahkan dari pakaian kita.
Ya, perubahan perilaku memang membuat kita menjadi lebih sehat, namun penting untuk diingat bahwa upaya ini hanya menjadi bagian langkah panjang menjauhkan bahan-bahan kimia dari hidup kita. Siapa pun pasti ingin mengontrol dan memastikan makanan sehat untuk seluruh anggota keluarga. Kita sudah berupaya, namun jika ada yang terlewat sedikit…yah apa boleh buat, jangan terlalu dihiraukan! (SA)