Ancaman 3: Hilangnya empati dan rawan konflik
Tak hanya menimbulkan kesan tidak sopan atau tidak peduli, terlalu asyik dengan gadget daripada dengan lawan bicara dapat menghilangkan kesempatan untuk menangkap tanda-tanda nonverbal dalam proses interaksi. Padahal, memerhatikan ekspresi wajah orang lain untuk mengetahui emosinya merupakan komponen penting dalam proses berempati ke orang lain, demikian Dan Hill, President of Sensory Logic, sebuah perusahaan peneliti perilaku pasar.
Padahal, bahasa tubuh dan ekspresi wajah merupakan social cues yang bisa ditangkap dan diolah oleh lawan bicara sehingga dapat memberikan respons/reaksi yang tepat. Hal inilah yang tidak ada di dunia maya.
Komunikasi digital juga seringkali menimbulkan kebingungan karena kadangkala penerima email menerima pesan dengan makna atau nuansa yang berbeda dengan yang dimaksudkan oleh pengirimnya. Karena setiap orang berinteraksi/berkomunikasi dengan interpretasinya masing-masing; situasi ini menurut para ahli, dapat memicu timbulnya konflik.
Solusi: Sejatinya manusia selalu dapat menemukan cara untuk menunjukkan keunikannya. Bisa digunakan icon, singkatan, atau cara menulis yang secara tata bahasa dianggap kacau, tetapi terasa tepat menggambarkan diri atau emosi penulisnya.
Tak hanya itu, karena saat ini teknologi terus-menerus berkembang ke arah multimedia, yang menghindarkan manusia dari konflik akibat kesalahpahaman. Maka, untuk menghindari kesalah-pahaman, saat ini tidak terlalu sulit untuk ngobrol dengan teman dan melihat ekspresi wajahnya melalui fasilitas multimedia seperti Skype.
Ancaman 4: Mental mencari jalan pintas berkembang pesat
Turkle mengatakan bahwa kaum muda digital yang lahir tahun 1977-1990-an, yang sedari kecil sudah akrab dengan gadget yang bisa menyediakan segalanya secara instan, ternyata memiliki karakter yang khas the world is at their fingertip. “Mau makan tinggal tekan tombol untuk pesan antar, tidak perlu masak. Mau mencari tahu kabar terbaru tinggal tekan tombol remote TV. Butuh teman untuk ngobrol tidak perlu mendatangi rumahnya, cukup tekan icon di smartphone atau di layar monitor….”
Ia menambahkan bahwa kaum muda digital menginginkan segala sesuatu berproses dengan cepat dan juga diperoleh dengan cepat. Sisi negatifnya, banyak yang lebih memilih jalan pintas daripada berusaha. “Kasus plagiarisme marak di kampus karena para mahasiswa memilih untuk copy dan paste (‘copas’) informasi yang mereka dapat di Internet dan mengakuinya sebagai kreasi dirinya,” katanya.
“Kasus plagiarisme marak di kampus karena para mahasiswa memilih untuk copy dan paste (‘copas’) informasi yang mereka dapat di Internet dan mengakuinya sebagai kreasi dirinya,” katanya.
Solusi: “Kaum muda digital bergerak lebih cepat dan lebih sigap, jejaring di dunia maya yang lebih luas dan lebih akrab juga memberikan keuntungan tersendiri,” kata Turkle. Jika kecepatan jaringan yang kuat ini dimanfaatkan dengan baik, tentu hasilnya juga akan optimal. “Melalui dunia maya, mereka dengan cepat bisa mendeteksi masalah yang ada dalam masyarakat dan kemudian membuat suatu gerakan sosial seperti gerakan mengumpulkan dana untuk membantu anggota masyarakat yang sedang ditimpa kemalangan, dan lain-lain,” ujar Turkle.