Marcus Raichle, seorang neurolog dari Washington University menambahkan bahwa berangan-angan adalah situasi ketika kita menjauhkan fokus kita dari tugas-tugas atau rangsangan-rangsangan dari luar diri kita, dan memindahkan perhatian pada pikiran-pikiran, fantasi, dan perasaan-perasaan yang muncul dalam diri kita sendiri.
Pada saat itulah otak mampu mengerahkan seluruh kemampuannya – karena tak ada gangguan dari luar – untuk meninjau ulang segala hal yang pernah kita ketahui, dan bahkan mampu berimanjinasi tentang segala hal.
Kreativitas juga bisa muncul dari kegiatan berangan-angan ini, karena dengan mudahnya – secara mental – kita bisa berpindah dari tema yang satu ke tema yang lain, bahkan memindahkan diri kita dari satu masa ke masa yang lain (masa lalu, sekarang, dan masa mendatang).
“Seorang yang berangan-angan akan sering menemukan dan “mengalami” pemikiran-pemikiran yang sama sekali baru dan bahkan mengejutkan, yang membawanya pada kreativitas,” kata Josie Glausiusz, penulis Devoted to Distraction.
Tanpa konsekuensi dan siap bereaksi
Dalam penelitiannya Raichle juga menemukan bahwa ketika kita sedang berangan-angan – meski terlihat hanya melamun dan tidak melakukan apa pun – ternyata ada bagian otak tertentu yang justru sedang aktif. Bagian itu adalah hippocampus yang bertanggung jawab sebagai pusat pengolah memori; posterior cingulate, yang mengatur emosi, memori, juga cara merespons rangsangan yang tertangkap oleh kelima indera kita; serta frontal cortex yang membantu diri kita mengevaluasi informasi dari tubuh dan dunia di sekitar kita dengan sudut pandang kita sendiri.
Karena itulah, menurut Glausiusz, berangan-angan sebenarnya adalah latihan mental, yang bisa menjaga otak dalam keadaan siap bereaksi. Salah satu keuntungan dari berangan-angan adalah tidak adanya konsekuensi dari “tindakan” yang kita lakukan. (bersambung).