Gaya hidup wanita urban yang superwoman – ya memenej rumah tangga, ya mengatur jadwal les, ya antar jemput anak, ya ngantor – sangat menguras energi. Dan seringkali gaya hidup ini tidak diimbangi oleh aktivitas relaksasi maupun dukungan dari orang-orang di sekelilingnya yang meringankan stres kehidupannya. Lama kelamaan, defisit energi ini akan berakibat kekosongan emosi dan spiritual yang menjadi pra syarat untuk depresi.
Wanita lebih rentan ?
Kerangka emosi wanita pun membuatnya lebih rentan. Coba tengok perumpamaan dari Tracy Gaudet, MD, Direktur dari Duke Integrative Medicine yang bernaung pada Duke University Medical Center, Durham, North Carolina, dan penulis buku Consciously Female (Sadar sebagai Wanita). Jika pria cenderung membentengi dirinya dengan dinding batu yang kokoh, wanita cenderung membangun jendela kaca yang besar.
Dinding batu ini bagaikan benteng yang melindungi pria dari gejolak emosi kehidupan sehingga pria lebih mudah mengambil jarak dari kejadian-kejadian di sekelilingnya. Sebaliknya, jendela kaca memungkinkan wanita untuk melihat dan merasa lebih terlibat dalam kehidupan.
Pada wanita yang depresi, jendela kacanya itu ambruk, sehingga tak ada lagi pemisah antara dirinya dan kejadian-kejadian di luar sana. Celakanya, di luar sana ada orang-orang yang melemparkan “sampah” (baca: masalah) dengan sekop ke arahnya.
Padahal wanita itu tak punya sekop untuk mengeluarkan “sampah”nya antara lain dengan curhat. Atau meminjam kalimat Dr Erwin: “Bila kesedihan tidak diungkapkan dengan air mata, organ-organ lain akan ‘menangis’. “
Mengatasi depresi
“Depresi perlu diterapi secara efektif bukan saja karena penderitaan yang diakibatkan, tapi juga karena dapat menimbulkan gangguan kesehatan,” advis Dr Erwin. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa wanita dengan depresi berisiko 41 persen lebih besar untuk terserang stroke. Depresi juga meningkatkan risiko sakit jantung, Parkinson’s, dan penyakit-penyakit lain.
“Terapi oleh psikiater biasanya dilakukan secara holistik, terdiri atas farmakoterapi – yaitu minum obat – untuk mengatasi gejala depresi, dan setelah pasien sudah kooperatif dan bisa diajak bicara, terapi diteruskan dengan psikoterapi untuk mengobati penyebab depresi,” begitu sarannya.
“Saat sudah bebas gejala, pasien dikatakan sembuh tapi belum sehat,” Dr Erwin menegaskan. “Pasien harus terus ke dokter sampai sehat sesuai definisi WHO tadi: sehat jiwa, raga, dan kehidupan sosialnya,” katanya.
Meski sudah sehat, kemungkinan kambuh selalu ada. “Jika terapinya tuntas, kalau pun kambuh, depresi tidak akan separah semula,” ungkap Dr Erwin. “Karena itu selain obat dokter dan psikoterapi, pasien sebaiknya dibuatkan rekaman aura untuk mencek apakah masih ada “virus” depresinya. Orang yang sehat mempunyai aura yang utuh dan mulus, “ katanya lagi. (SA)