Jangan Membohongi Diri
Dari ilustrasi diatas, pertanyaan yang sering sesudahnya adalah: “Jadi kopi, teh dan gula itu tidak boleh?”. Jawaban saya untuk hal demikian adalah: “Yang berhak mengatakan boleh atau tidaknya sesuatu adalah hasil diskusi diri dengan spiritual”.
Setiap diri sejati lebih cerdas dari apa yang disadari. Sanggahan seperti ini juga sering: “Tapi saya sudah biasa melakukannya sejak lama dan akan sulit untuk mengubahnya”. Saya teringat kuote menarik dari pembicaraan dengan seorang pebisnis properti disebuah lounge: “Kadang-kadang suatu proses sulit tapi bisa”. Tangkisan ini juga tidak jarang pada saat bicara tentang keluarga: “Tapi ini sudah tradisi keluarga dan itu turu temurun”.
Ini menarik karena kita seringkali malah lupa untuk justru menggali kejayaan dari faset yang lebih memberdayakan di masa lalu seperti menelusuri riwayat enterpreneurship di garis keturunan, sejarah keuletan struggle nenek moyang, kejayaan Majapahit yang inspiratif.
Sanggahan lain adalah: “Kalau tidak baik, kenapa tidk dilarang?”, yang biasanya akan berubah jadi senyum dan tawa sesudah mengambil kembali kendali atas diri. Ada fenomena menarik tentang kafein dan tanin ini. Pada penggunaan dengan keperluannya sedikit seperti es krim dan tart moka, yang digunakan justru essence kimiawi yang kalau dicermati lebih lanjut mungkin sampai pada pemahaman bahwa ini adalah bentuk membohongi diri dengan efek sampai pada kurangnya percaya diri.
Tersimpangnya efek dari maksud memang mungkin terjadi, bukan hanya di keluarga atau korporasi, tapi juga dalam diri di semua dimensi. Saya ingat pesan seorang guru: “Lakukan hanya yang baik untuk dirimu, orang lain dan alam. Bertindaklah hati-hati, jangan sampai merugikan diri, merugikan orang lain dan mengundang murka alam”. Ma’afkan aku, diriku. (SA)