Cakupan imunisasi di luar Jawa masih rendah
Namun sayangnya, cakupan imunisasi di luar Jawa keseluruhan baru mencapai 72,79 persen. Bahkan secara rinci masih ada provinsi dengan cakupan kurang dari 50 persen, yakni Aceh, Sumatera Barat, dan Riau. ”Tetap kami masih ada 71 kabupaten/kota yang cakupannya di bawah 50 persen, yang paling rendah adalah Provinsi Aceh,” katanya.
Untuk meningkatkan cakupan imunisasi campak dan rubella di luar Jawa, Kemenkes meminta kepala daerah yang wilayah cakupan imunisasinya rendah untuk lebih meningkatkan lagi upaya cakupan imunisasi. Selain itu, dilakukan juga penguatan surveilan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I).
”Untuk meningkatkan cakupan yang di luar Jawa, surveilans PD3I harus ditingkatkan. Kami sekarang melakukan pemetaan risiko wilayah atau potensi wilayah yang perlu diwaspadai terjadinya PD3I. Variabelnya secara makro mencakup target imunisasi, kegiatan laporan surveilans, dan pelaporan surveilans pasif di RS,”ucap dr. Anung.
Lebih lanjut dr. Anung menjelaskan pelaporan pasif di RS bukan hanya soal cakupan, tapi soal Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) di rumah sakit. Hal ini harus dicermati karena congenital rubella syndrome misalnya, perlu perhatian dari beberapa dokter spesialis, yakni spesialis mata, THT, dan spesialis jantung untuk memastikan diagnosis bahwa seorang anak terkena congenital rubella syndrome.
”Karena belum semua RS di tingkat kabupaten/kota mempunyai 3 spesialis ini, inilah yang jadi tantangan kami ke depan dalam mengamati atau meminimalkan kejadian yang tidak diinginkan karena anak tidak diimunisasi,” katanya.
Dalam 6 bulan ke depan, dr. Anung mengharapkan akan ada data yang dapat diolah dari berbagai hal yang berkaitan dengan imunisasi, surveilans, dan risiko di lapangan saat dilakukan kampanye campak-rubella selama 2 tahun terkahir. ”Harapannya di akhir 2019 semua jenis cakupan imunisasi di atas 95 persen perkabupaten/kota di Indonesia,” kata dr. Anung. (SA).