Mengutip Carlo Petrini, pendiri gerakan Slow food, Helianti menuturkan, makanan hendaknya diolah secara alami, dinikmati secara tenang dan tidak terburu-buru agar bisa menemukan rasa asli dari sajian, serta dinikmati bersama keluarga. Sebuah kebiasaan yang mulai sulit ditemukan dalam kehidupan masyarakat urban yang serba sibuk dan tergesa.
Memelihara tradisi leluhur
Mengapa ia begitu peduli dengan pola hidup slow food ini? Menurutnya, pola hidup slow food sebenarnya bukan sesuatu yang baru bagi masyarakat Indonesia.
“Jauh sebelum gerakan slow food dikenal, ibu-ibu di Indonesia telah menjalankan dengan cara masak sendiri demi menyajikan menu sehat bagi keluarga,” katanya.
Hanya saja, saat ini memang banyak ibu-ibu yang jarang masuk dapur. Padahal, generasi sebelumnya sangat aktif di dapur, sehingga berefek positif bagi anak dan keluarga.
Sebagai praktisi slow food, Helianti juga aktif dalam penyelenggaraan program pelatihan dan kelas-kelas menanam sayuran seperti bayam dan kangkung di lahan sempit atau pekarangan rumah untuk masyarakat perkotaan (urban farming).
Selain itu, bekerja sama dengan komunitas chef di Jakarta, ia juga aktif dalam kegiatan Food Tasting Education, untuk memperkenalkan bahan-bahan pangan dan masakan alami kepada anak-anak Indonesia. Tujuannya agar mereka dapat memilih jenis makanan yang baik, sehingga terbiasa mengonsumsi makanan sehat setelah tumbuh dewasa.
Gerakan slow food melalui kegiatan seperti, urban farming dan Food Tasting Education, ini juga sekaligus sebagai usaha untuk memelihara tradisi leluhur dan menjaga warisan keanekaragaman pangan Indonesia, termasuk memasarkan aneka jenis padi-padian langka Indonesia.
Tidak hanya itu, dengan pengenalan terhadap keaneka ragaman pangan asli Indonesia, secara tidak langsung juga ikut memelihara dan mendukung kesejahteraan petani melalui pola kerja sama berbasis fair trade, serta ikut memberikan pilihan alternative bagi konsumen makanan yangsehat dan alami.
Lewat gerakan slow food, Helianti dengan kelompok dan jaringan komunitas petani organik yang dibinanya, berupaya ikut menyadarkan masyarakat bahwa dengan proses produksi yang lebih baik, bahan pangan lokal memiliki daya tahan lebih tinggi dibanding bahan pangan impor dari luar negeri.
Selain itu, secara tidak langsung, memanfaatkan pangan lokal juga mengurangi emisi karbon. Sebab, mendatangkan pangan dari lokasi yang jauh otomatis juga dapat mencemari lingkungan lewat jejak karbon yang ditimbulkannya.
“Dan yang penting, harga jauh lebih terjangkau bagi konsumen serta lebih berkeadilan bagi produsen berskala kecil,” ujar Helianti menutup percakapan di sore itu. (SA)