Seperti yang diutarakan Dr Susan Phillips dari Queen’s University di Ontario, Kanada, “Pria dan wanita sama dalam 99 persen materi genetis mereka. Tapi kadang-kadang perbedaan genetis sangat kecil sekalipun besar pengaruhnya dalam diagnosa dan pengobatan.”
Para peneliti juga mengetahui, bahwa pria dan wanita mencerna obat dengan cara berbeda. Keseimbangan hormon dan distribusi lemak tubuh memainkan peranan penting dalam penyimpanan dan penggunaan bahan kimia ini.
Diketahui pula, otak wanita lebih ‘plastis’ dari otak pria, yang memungkinkan wanita lebih cepat sembuh dari serangan stroke. Juga ditemukan, bahwa tubuh pria bereaksi pada beberapa jenis rasa sakit secara berbeda dari wanita, dan mungkin membutuhkan pengobatan yang tidak sama.
Bukan itu saja. Wanita lebih terbiasa memeriksakan diri ke dokter dan memelihara kesehatannya. Sedangkan pria enggan berobat ke dokter sampai penyakitnya parah. Pria juga lebih sering mengalami cedera dan kecelakaan, bahkan juga punya kecenderungan yang lebih besar untuk bunuh diri.
3. Wanita kurang diperhitungkan dalam penelitian klinis
Sekalipun sudah menyadari kekhasan wanita-pria, seringkali dokter memberi obat tanpa memperhitungkan perbedaan jender ini. Mengapa? Di seluruh dunia, kebanyakan percobaan klinis dilakukan pada pria.
Wanita tidak diikutsertakan, karena akan menimbulkan kerumitan-kerumitan tersendiri. Misalnya, harus diperhitungkan kadar hormonnya ketika sedang haid, atau kalau sudah menopause. Juga ada persoalan dana.
Semakin homogen peserta penelitian, semakin cepat diperoleh hasil. Bila mengikutsertakan wanita (juga berbagai etnis bangsa), penelitian menjadi rumit dan biayanya pun semakin mahal. (bersambung).