Emosi negatif yang tersimpan terlalu lama dapat menimbulkan gangguan fisik dan menghambat perjalanan hidup seseorang. Atasi dengan terapi emosi. Bagaimana caranya?
Sehatalami.co ~ Sebut saja namanya Klara, (36 tahun). Bertahun-tahun ia menderita sakit maag yang sudah kronis. Berobat ke dokter sering dilakukan, bahkan Klara sudah menjadi langganan rawat inap di rumah sakit, setidaknya dua kali dalam setahun. Karena itu, ke mana pun ia pergi, harus membawa obat-obatan untuk berjaga-jaga jika serangan maag datang tiba-tiba.
Lelah menjalankan nasihat dokter agar jangan terlalu capek serta menghindari stres yang hasilnya semua nihil, Klara pun mencoba terapi lain. ”Saya ikutan kelas terapi emosi, sebab dalam beberapa literatur yang saya baca disebutkan, 60% penyakit fisik terjadi karena faktor emosi, ” kata Klara.
Tiga kali ikut kelas emotional healing dan dua kali menjalani emotional healing secara pribadi, maag yang diderita Klara tidak pernah kambuh lagi. ”Dalam setahun ini, saya sudah tidak pernah lagi masuk rumah sakit. Alhamdulillah,” ujarnya.
Apa itu emotional healing therapy ?
Irma Rahayu, soul healer dan penulis buku Emotional Healing Therapy, menjelaskan, emosi negatif atau trauma yang terpendam terlalu lama bisa menyumbat aliran energi di dalam tubuh. Akibatnya, keseimbangan emosi di dalam diri seseorang menjadi terganggu.
Dan jika terus dibiarkan, bisa berpengaruh terhadap kepercayaan diri. Ia akan merasa tidak nyaman, jadi mudah tersinggung, mudah cemas, cepat marah, dilanda depresi, dan putus asa, sehingga suasana hatinya ini dapat merusak hubungan dengan sasama. ”Kondisi ini bisa membuat seseorang mudah melakukan hal-hal ekstrem. Daya tahan mental dan fisiknya pun menjadi lemah sehingga mudah terkena penyakit ringan maupun berat, ” tutur Irma Rahayu.
”Sebagai contoh, ada seorang wanita yang mengaku hidupnya tidak berguna. Merasa terasing di dalam komunitas maupun keluarga, rasa percaya dirinya pun hilang. Tidak hanya itu, ia juga sering mengeluh sakit kepala dan memiliki gangguan sakit maag atau pencernaan,” ungkap Irma.
Pada sesi konseling emotional healing, barulah diketahui bahwa ternyata sejak masa anak-anak ia merasa tidak diacuhkan oleh kedua orangtuanya maupun saudara yang lain. Ia merasa paling hitam kulitnya di antara saudara-saudara lain, paling kecil tubuhnya, dan jelek parasnya, sehingga diperlakukan berbeda. ”Perasaan ini terbawa hingga ia tumbuh dewasa, dan akhirnya menimbulkan rasa dendam yang tersimpan di dalam hati pada sosok ibu yang tidak memberikan kasih sayang,” lanjut Irma.
”Pada kasus ini, emotional healing bekerja dengan mencari penyebab dan akar masalah timbulnya emosi negatif: kapan awal mula terjadi, dan mengapa bisa bertahan lama di dalam diri seseorang,” kata Irma.
Langkah selanjutnya adalah membuat seseorang menerima masa lalu yang kelam, memaafkan apa yang telah menimpa dirinya, dan mencoba menjadi dirinya sendiri. Akhirnya, ia akan dibawa untuk mencapai suatu kesimpulan bahwa ia memiliki karakter berbeda dari orang lain, termasuk ibu dan ayahnya atau siapa pun, dan bahwa ia bisa berbuat lebih baik untuk dirinya sendiri.
Ia akan tahu apa tujuan hidupnya dan untuk apa ia diciptakan, sehingga bisa merancang hidup yang lebih baik dan lebih terarah. Hidupnya akan jadi lebih relaks dan melegakan, sehingga memberi efek ringan pada tubuh dan pikiran.
”Inilah yang dilakukan dalam emotional healing therapy, yaitu mencari akar masalahnya, menetralisir energi negatifnya, dan mendapatkan solusinya secara cepat dan tepat. Lebih spesifik lagi, yaitu mengatasi gangguan ketidaklancaran perputaran energi yang menyebabkan gangguan emosi dan bahkan bisa berdampak pada fisik kita, ” Irma Rahayu menjelaskan.
”Banyak hal yang bisa diurai dan diselesaikan melalui emotional healing, mulai dari masalah keluarga, karier, keuangan, hubungan yang buruk dengan seseorang, maupun gangguan penyakit fisik ringan,” katanya lagi. (bersambung).