”Ada perbedaan antara mengarahkan diri Anda ke sebuah standar yang tinggi, dengan mengarahkan diri Anda pada sesuatu yang tidak mungkin diraih. Semakin keras Anda mendorong diri Anda untuk mencapai sesuatu yang tidak mungkin Anda raih, maka semakin besar stres Anda,” kata Baker.
Tak sama dengan kebahagiaan
Situasinya menjadi sangat ironis. Ketika orang berusaha mencari kesempurnaan dalam mengejar kebahagiaan, mengapa yang didapat justru kekecewaan, kecemasan, dan stres.
Purnawan menjelaskan, ”Rumah bagus atau mobil mewah yang seringkali kita kejar itu sebenarnya hanyalah harapan-harapan kenyamanan yang diolah oleh otak. Itu hanya imajinasi, bukan kenyataan yang sebenarnya.”
Purnawan meyakini bahwa sifat perfeksionis yang mengejar segala sesuatu yang bagus dan sempurna, sesungguhnya bukanlah sifat dasar manusia. ”Perfeksionisme didorong oleh rasa iri hati, ingin memiliki seperti yang dipunyai orang lain. Kita melihat orang lain memiliki sesuatu yang kelihatannya bagus dan enak, maka kita ingin sepadan dengan orang lain,” tambahnya.
Tapi, Purnawan mengingatkan, sebenarnya kebahagiaan manusia itu sifatnya mulur-mungkret (memuai dan mengerut – Red), tidak statis. Kesenangan berubah-ubah, tidak berlangsung terus-menerus. Ketika sudah tercapai sesuatu yang diinginkan, maka keinginan akan meningkat ke sesuatu yang lebih besar lagi, sehingga mengurangi kesenangan yang sebelumnya terasa, bahkan bisa menjadi sedih, karena harapan barunya belum teraih. (SA)