“Demikian juga orangtua yang selalu takut bersalah, akan mencetak anak-anak yang serupa.” Seperti kata pepatah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya atau like father like son like mother like daughter.
Perfeksionisme yang ditanamkan sejak kanak-kanak, merembes dan mengendap dalam jiwa anak-anak dan membentuk pola pikir dan kepribadian khusus. Perfeksionisme menjadikan anak-anak tumbuh menjadi orang yang serius, tak ada kegembiraan hidup, tak ada keharmonisan penguasaan ilmu pengetahuan.
“Jika Anda hanya fokus pada prestasi dan mempertahankan diri agar selalu menjadi yang terbaik, maka Anda tidak akan fokus pada mempelajari tugas-tugas Anda secara manusiawi. Yang Anda ingat hanya prestasi diri,” kata Randy. Karena itu perfeksionisme juga menghambat kreativitas dan inovasi.
Perfeksional sumber emosi negatif?
Kenyataannya, perfeksionisme sumber emosi negatif. Karena memfokuskan pada hal-hal yang paling ingin dihindari (jangan kalah, jangan gagal, dll.), menimbulkan frustrasi yang berkepanjangan, rasa bersalah, depresi, dan emosi-emosi negatif lainnya. Baik pada atasan/orangtua/guru maupun pada murid/pegawai.
Ibarat pisau bermata dua, perfeksionis melukai dua pihak, yaitu si perfeksionis di satu sisi dan bawahannya / anaknya. Sisi negatif yang selalu aktual, tercermin pada banyaknya murid sekolah yang bunuh diri di Jepang. (bersambung).