Alasan utama mereka adalah tidak naik kelas, rapor yang buruk, bahkan lulusan SMU yang tidak diterima di universitas yang diincarnya. Banyak pula pejabat Jepang yang melakukan harakiri karena merasa gagal dalam tugasnya.
Di lingkungan pendidikan, perfeksionisme akhirnya menjadi semacam kontrol para orangtua terhadap anak-anaknya. Dan kontrol ini semakin meningkat di era globalisasi ekonomi sekarang ini. Demikian pendapat para ahli.
Excellence vs perfection
“Ada perbedaan antara excellence dan perfection,” kata Miriam Adderholdt, instruktut psikologi di Davidson Community College, Lexington, North Caroline, yang juga penulis buku Perfectionism: What’s a Bad About Being Too Good? Keduanya berujung pada hasil terbaik. Dalam kata excellence (keunggulan) tersirat perasaan menikmati apa yang Anda lakukan, kemudian merasa senang dengan pencapaian Anda.
Anda merasa percaya diri dan tidak ngoyo dalam melakukan usaha itu. Tidak stres atau depresi, tidak emosi, semua dijalani dengan santai dan senang hati. Sedangkan dalam kata perfection (kesempurnaan) tersirat suatu usaha ke arah pencapaian kesempurnaan.
Anda selalu gelisah dan stres karena takut gagal, dan akhirnya depresi karena Anda merasa harus mencapai kesempurnaan dalam kerja Anda. Anda tidak mau dinilai bersalah / gagal, Anda tak mau kalah dengan orang lain. Anda terus mencari kesalahan dan kelemahan agar kerja Anda sempurna, tak peduli bagaimana caranya.
Randy Frost sependapat dengan Miriam. Ia memberi contoh di lingkungan akademisi. Ketika para mahasiswa harus menulis paper (tugas berupa tulisan), ternyata mereka yang takut berbuat kesalahan (para perfeksionis) justru mendapat nilai buruk. (bersambung).