- Penelitian menyebutkan, orang yang tidak memaafkan terkait erat dengan sikap marah, yang berdampak terhadap penurunan fungsi kekebalan tubuh.
- Prof. Dr. Quraish Shihab, mengatakan kata maaf berasal dari bahasa Alquran al-afwu, yang berarti ‘menghapus’, karena itu memberi maaf sama artinya dengan menghapus bekas-bekas luka di dalam hati.
Sehatalami.co ~ Pernahkah Anda merasakan lega, tenang, damai, relaks, setelah menyadari suatu kesalahan dan kemudian memaafkannya diri sendiri? Atau pernahkah perasaan, pikiran, dan hati Anda menjadi lebih plong setelah berdamai dan memberikan maaf kepada seseorang yang telah berbuat salah kepada kita?
Menurut Prof. Dr M. Quraish Shihab, MA, Guru Besar Ilmu Tafsir Alquran, Program Pascasarjana Universitas islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Pendiri Yayasan Lentera Hati dalam bukunya, Membumikan Alquran, kata maaf berasal dari bahasa Alquran al-afwu, yang berarti ‘menghapus’, karena itu memberi maaf sama artinya dengan menghapus bekas-bekas luka di dalam hati.
Dalam praktiknya tentu tidak mudah, namun tetap harus dilakukan. Karena terlalu lama menyimpan amarah, bisa mempengaruhi kejiwaan seseorang, yang jika dibiarkan berlarut, dapat memicu stres, hidup penuh kebencian, dan dapat penghambat masa depan yang akan merugikan diri sendiri dan orang lain.
Penelitian Membuktikan
Everett L.Worthington Jr, profesor psikologi dari Virginia Commonwealth University (VCU), Amerika Serikat, dan penulis buku, Forgiveness and Reconcilliation: Theory and Applications, merangkum kaitan antara memaafkan dan kesehatan. Dalam karya ilmiahnya, Forgiveness in Health Research and Medical Practice di jurnal Explor, ia juga memaparkan dampak memaafkan terhadap kesehatan jiwa raga dalam penanganan pasien. Disebutkan dalam penelitian ini, orang yang tidak memaafkan terkait erat dengan sikap marah, yang berdampak terhadap penurunan fungsi kekebalan tubuh.
Penelitian senada dilakukan oleh para peneliti dari University of Massachusett. Mereka menyebutkan, sifat saling memaafkan bisa menurunkan tekanan darah dengan lebih cepat. Di sebutkan, di saat konflik, tekanan darah dan denyut jantung meningkat, begitu juga kontraksi otot dalam tubuh, yang jika diabaikan bisa meningkatkan faktor resiko terjadinya serangan jantung dan strok. (bersambung).