Helianti yang saat itu masih bekerja sebagai konsultan hukum, tak menyia-nyiakan kesempatan beasiswa untuk program Master of Laws (LLM) untuk Bidang Hak Kekayaan Intelektual dan Alih Teknologi dari Kings College, University of London (1998).
Program studi yang akhirnya, membukakan mata betapa masyarakat Indonesia tertinggal jauh dalam bidang perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dan Alih Teknologi, kendati pemerintahnya telah meratifikasi dan menandatangani kesepakatan perlindungan hak kekayaan intelektual internasional.
Lebih-lebih jika dibandingkan dengan negera-negera yang sempat ia kunjungi selama menempuh studi di Kings College, University of London. Ia juga menyadari bahwa ternyata, negara-negara yang sudah meratifikasi Intellectual Property Rights, itu adalah negara-negara yang industri kreativenya sudah tumbuh dan industri inovasinya sudah terbangun, sehingga mereka tidak hanya menjadi pasar, tetapi juga bisa bersaing dan bermain dalam pasar global.
“Tidak usah jauh-jauh, dibanding India, Thailand, dan Srilangka, mereka lebih jago dalam mengemas produk pertanian dari kampung menjadi komoditi berkualitas ekspor,” ujar Helianti yang selama dan setelah studi S2 berkesempatan keliling ke lebih dari 35 negara Asia dan Eropa.
“Sementara, Indonesia yang memiliki kekayaan aneka ragam hayati dan pangan, industri creative-nya belum tumbuh. Masyaraktnya masih belum memiliki ketrampilan dalam mengelola aset bahan baku, hingga mampu bersaing di pasar internasional,” lanjutnya.
Kegemesan ini, ditambah dorongan dari profesor yang membimbingnya saat mengambil gelar S2, untuk segera pulang ke kampung halaman agar bisa lebih berguna bagi pengembangan industri kreative di negara asal, semakin membuatnya termotivasi untuk terjun ke bidang industri inovasi berbasis bahan pangan lokal ini.