Mendirikan Kampung kearifan Indonesia
Kehidupan masa kecil, ternyata begitu membekas dalam diri Helianti. Apa yang dialami saat masa kanak-kanak, seolah menjadi cikal-bakal bagi kecintaan dan ketertarikannya pada profesi yang ditekuninya kini.
Lahir di Jember, 9 Maret 1971, Helianti terbiasa dengan suasana kehidupan desa di kaki Gunung Ijen, yang jauh dari hirup pikuk keramaian kota. “Ibu saya biasa menanam semua keperluan dapur, mulai dari bumbu sampai sayuran di pekarangan rumah,” kenang Helianti, lantaran jarak antara kampung dan pasar terdekat, teramat jauh. “Ibu juga memelihara ikan di kolam bekalang rumah, serta memelihara ayam dan kambing sendiri,” lanjut Helianti.
Dengan pola hidup seperti ini, keluarga terbiasa memenuhi hampir semua kebutuhan konsumsi makanan secara alami dari kebun sendiri. “Ibu bahkan berternak lebah madu sendiri,” kenangnya. Belakangan Helianti baru menyadari, jika memori saat masih kecil ini, ternyata ikut berpengaruh dalam pilihan hidupannya kini.
Kenangan masa kecil ini juga yang akhirnya, membawanya pergi menjelajah kampung mengunjungi sentra-sentra pertanian di banyak desa selama 3 bulan lebih bersama suami. Tinggal dan merasakan kembali suasana desa dan kebiasaan hidup petani di kampung yang ia kunjungi.
Baca juga : Bahan Pangan Organik, Juaranya adalah Javara
Ritual ini ia lakukan sepulang dari studinya di Eropa. Sebuah perjalanan yang akhirnya membawanya untuk kembali mengenal kearifan lokal dari para petani desa di Indonesia.
Antara lain, ia bertemu dengan para petani di Kasepuhan Cirebon yang memiliki koleksi puluhan jenis padi lokal, namun sudah lama tidak ditanam secara masal, karena kalah bersaing dengan bibit padi unggulan dari pemerintah.
Di Bali, ia bertemu dengan keluarga petani garam dengan tradisi proses pengolahan garam yang sudah mulai ditinggalkan. Di NTB, ia bertemu dengan petani jambu mete yang kesulitan menjual hasil pertaniannya, dan banyak lagi kejadian mengenaskan yang ia jumpai selama pengembaraannya ini. (bersambung).