Menikmati pekerjaan
Bicara tentang aktivitas hariannya sebagai sebagai Kepala BKKBN, Prof. Fasli, mengaku selalu on-time berangkat ke kantor pukul 08.00 WIB, kecuali ada agenda meeting di luar kantor. Kebalikannya, jam pulang kerja lantaran sering harus mengikuti rapat-rapat dengan banyak instansi, ia sering baru bisa pulang di atas pukul 20.00 WIB. Tak jarang baru bisa pulang sesudah pukul 22.00 WIB atau bahkan bisa sampai larut di dini hari.
Menurutnya, jam kerja dengan akativitas yang banyak menyita perhatian ini, sudah biasa ia jalani. “Saya bahkan sudah biasa jika harus bekerja 7 hari seminggu dan kadang harus bermalam di kantor, seperti saat dahulu masih berkantor di Bappenas, “ ujarnya.
Sebab baginya, apa pun yang dikerjakan, jika sudah menjadi pilihan, harus dikerjakan secara total, sebaik mungkin, dan yang terpenting berusaha untuk menikmati setiap pekerjaan yang dilakukan. “Kalau sudah komit, kita tidak perlu lagi memikirkan, mau jadi apa segala macam. Kita ikuti saja, setahap demi setahap, “ ujarnya berprinsip.
Sebab yang namanya pekerjaan atau kesempatan itu, pada hakikatnya adalah anugerah dari Tuhan, yang tidak akan datang untuk kedua kali. Meski kita harus memiliki perhitungan sebelum menerima kesempatan, namun harus lebih proaktif dan berani menerima kesempatan itu, sebab sering kesempatan yang kita pilih itu akan membuka kesempatan-kesempatan lainnya. “Dan inilah yang saya pelajari dari sejak mahasiswa,” katanya bernostalgia.
Prof.Fasli lalu menceritakan pengalamannya saat baru saja lulus S1 Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas, Sumatra Barat. Bukannya memilih program spesialis, ia justru menerima tawaran sebagai perwakilan untuk pertukaran pemuda antara Indonesia dan Kanada, dan bersedia bekerja sebagai foluntir dalam rangkaian kerja sama ini.
Pengalaman yang membawanya lebih dekat dalam mengenal suku-suku dan masyarakat pedalaman di kedua Negara. Lewat program ini, antara lain, pernah tinggal selama 4,5 bulan bersama suku pedalaman di Kalimantan Barat di dekat Entikong, yang harus ditempuh selama 12 jam perjalanan dari Pontianak ke Sanggau, lalu 6 jam dari Sanggau ke Entikong, dari Entikong masuk lagi ke pedalaman sejauh 4 jam melewati hutan untuk tinggal bersama Suku Dayak pedalaman, yang belum ada fasilitas infrastruktur apapun. “Pengalaman yang sangat berharga, yang memberikan pemahaman baru tentang keadaan masyarakat pedalaman Indonesia,” kenangnya.(bersambung)