Ternyata tidak. Para ahli emosi sepakat bahwa iri terjadi bukan karena adanya ketidakadilan. Seperti marah, senang, atau pun sedih, iri tidak mengandung pesan moral tertentu.
Iri bersifat tidak rasional karena mempersepsi adanya sesuatu yang tidak cocok. Iri berakar dari rendahnya kepercayaan diri yang dikombinasikan dengan perasaan tidak mampu bersaing seperti:
1. Ambisi menjadi yang terunggul dan meraih popularitas
Ingin maju tapi tidak sanggup bersaing. Ada banyak contoh yang menggambarkankan kecenderungan ini, terutama di bidang ekonomi dan politik. Perusahaan yang tidak mau bersaing, misalnya, tidak akan segan mengeluarkan uang untuk menanamkan pengaruh pada pembuat undang-undang sehingga mendapat monopoli.
2. Tidak rela jika ada yang mengunggulinya, karena khawatir saingannya menjadi sombong sementara ia tidak kuasa bersikap yang sama
Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin banyak menemukan kisah serupa. Anak dipaksa belajar piano bukan karena anak ingin belajar atau Anda menganggap piano itu pasti bermanfaat bagi anak, melainkan karena teman anak Anda juga belajar piano. Atau membeli perhiasan model tertentu bukan karena menginginkannya, tapi karena tidak mau kalah gengsi.
3. Takut dikalahkan oleh orang yang kedudukannya dianggap lebih rendah.
Roda kehidupan terus berputar. Tak jarang orang yang dulu keadaan ekonominya atau status sosialnya berada di bawah, di kemudian hari berada di atas. Pembantu rumahtangga kita dahulu bukan tidak mungkin bisa menjadi pengusaha katering yang sukses.
Bagi orang rendah diri, yang bersembunyi di balik topeng-topeng kekayaan atau derajat (mungkin berupa gelar yang dibeli orangtuanya), kenyataan tersebut dapat membuatnya merasa terancam sehingga timbul rasa iri dan dengki. (bersambung).