Dilihat dari kandungan gizinya, kedelai merupakan sumber protein, lemak, vitamin, mineral, dan serat yang baik. Protein kedelai telah terbukti paling baik dibandingkan jenis kacang-kacangan lain, karena mengandung semua asam amino esensial dan setara dengan protein hewani (daging, susu, dan telur).
Sehatalami.co ~ Fakta lainnya adalah kadar indeks glikemik pada kedelai yang rendah (berada di angka 16 dari skala 0 – 100 angka kecepatan makanan dalam meningkatkan kadar gula darah), sehingga konsumsi kedelai juga dapat berperan dalam memperlambat kenaikan kadar gula darah, sehingga dapat menjadi sahabat bagi penderita diabetes dalam mengelola kadar gula darahnya.
Selain itu, karena memiliki kadar indeks glikemik yang rendah, konsumsi kedelai juga dapat memberikan lebih sedikit asupan kalori, sehingga proses metabolisme berjalan lebih lambat. Efek lanjutan dari penurunan laju metabolisme ini adalah berkurangnya produksi sampah radikal bebas. Nah, sedikitnya racun radikal bebas ini juga dapat membantu menghambat kerusakan sel, sehingga proses penuaan dini dapat dicegah.
Kedelai sebagai antioksidan
Kedelai juga mengandung zat antioksidan dalam bentuk isoflavon. Seperti halnya vitamin C, E, dan karotenoid, isoflavon juga merupakan antioksidan yang sangat dibutuhkan tubuh untuk menghentikan reaksi pembentukan radikal bebas.
Tiga jenis isoflavon dalam kedelai yaitu, daidzein, glisitein, dan genistein. Bahkan, pada bahan pangan hasil olahan kedelai, terutama pada tempe, di samping ketiga jenis isoflavon tersebut, juga terdapat antioksidan faktor II (6,7,4-trihidroksi isoflavon) yang mempunyai sifat antioksidan paling kuat dibandingkan dengan isoflavon dalam kedelai. Antioksidan ini adalah disintesis pada saat terjadinya proses fermentasi kedelai menjadi tempe oleh bakteri
Micrococcus luteus dan Coreyne bacterium.
Prof Dr Ir Made Astawan, MS, pakar gizi dari Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB, menuturkan, senyawa isoplavon genestein dan daidzein dalam kedelai, dapat bertindak mirip hormon estrogen dan dikenal sebagai fitoestrogen, yang dapat berperan sebagai pengganti alami hormon estogren. Nah, kandungan fitoestrogen dalam kedelai inilah yang dapat membantu tubuh menghasilkan lebih banyak estrogen, sehingga dapat berperan mengurangi proses penuaan dini pada kulit.
Penelitian yang dilakukan di Universitas North Carolina, Amerika Serikat, menemukan bahwa genestein dan fitoestrogen yang terdapat pada tempe ternyata dapat mencegah kanker prostat dan payudara.
Cara Mengonsumsi Kedelai
Namun, meski banyak penelitian membuktikan manfaat dan kandungan gizi kedelai, tetapi tetap perlu diperhatikan cara mengolah dan mengonsumsinya agar kandungan nilai gizi dan manfaat yang diperoleh tidak rusak. Menurut Dr Elvina Karyadi, MSc, PhD, SpGK, ahli mikronutrisi dari Persatuan Dokter Gizi Klinik Indonesia (PDGKI), kendati kedelai memiliki kadar indeks glikemik yang rendah, tetapi jika cara mengolah dan mengonsumsinya salah, misalnya diolah dengan kombinasi bahan pangan lain yang memiliki angka glikemik indeks tinggi, maka angka glikemik indeks pada bahan pangan olahan kedelai sudah pasti akan berubah. “Itu artinya, proses pengolahan bahan pangan dan cara mengonsumsinya akan berpengaruh terhadap asupan nilai gizi yang didapat,” kata Dr Elvina.
Karenanya, sebelum mengonsumsi kedelai atau bahan pangan olahan lain dari kedelai, hal yang harus diperhatikan adalah takaran porsinya. Satu porsi sajian kedelai setara dengan setengah cangkir biji kedelai, setengah cangkir tempe, setengah cangkir protein kedelai, setara dengan empat ons tahu atau satu cangkir susu kedelai.
Perlu juga diperhatikan bahwa saat ini sudah banyak produk olahan berbahan kedelai. Namun, produk-produk berbahan baku kedelai tersebut sudah melalui pemrosesan. Sebut saja misalnya, produk minyak atau kecap. Kendati sering diklaim mengandung isoplavon, tetapi nilai kadarnya bisa jadi sudah berubah. Karena itu, penting untuk mengonsumsinya dalam jumlah yang wajar.
Selain itu, lantaran saat ini sebagian besar kedelai di tanah air berasal dari impor, juga perlu hati-hati, mengingat hampir 90 persen, kedelai impor merupakan produk rekayasa genetik. Untuk itu, sedapat mungkin pilih produk kedelai organik atau hasil petani lokal. Sebab, produk rekayasa genetik, dikhawatirkan dapat meningkatkan risiko alergi, khususnya pada anak-anak. (SA)