Sebagai contoh, menurut Dwijo, di luar potensi umum yang dimiliki, beberapa anak autis memiliki kecakapan atau kecenderungan khusus pada bidang numerikal (angka), lainnya memiliki kecenderungan atau potensi auditif (pendengaran), ada juga yang memiliki potensi di bidang visual (penglihatan) dan taktil (sentuhan).
Dengan memahami karakteristik dan potensi tersebut, seorang terapis terbantu dalam memperbaiki gangguan kesulitan yang dialami dan dapat menggali potensi yang terpendam. “Itulah mengapa terapi seni, baik melukis atau latihan vokal, dapat dimasukkan sebagai bagian dari stimulasi untuk melengkapi (adjuvan) terapi lain, “tutur Dwijo. Menurut Donna J. Bett, setidaknya ada tiga manfaat art therapy bagi anak autis, yaitu :
Meningkatkan keterampilan berkomunikasi
Art therapy dapat membantu menstimulasi bagian otak yang tidak berkembang dan membantu anak autis dalam mengekspresikan kecakapan non verbal. Saat anak autis sedang melukis atau menggambar misalnya, sesungguhnya dia sedang berkomunikasi dengan menggunakan simbol. Proses ini dapat membantu mengembangkan kecakapan komunikasinya secara langsung, serta membantu dalam mengelola proses berpikir.
Secara bersamaan, sang terapis juga dapat lebih fokus dalam mengeksplorasi kecakapan berkomunikasi anak dengan memanfaatkan beberapa teknik tertentu, seperti memberi tugas menggambar dengan mencontoh atau melukis sesuai arahan terapis.
Anak dengan autisme akan merespon tugas yang diberikan terapis lewat perubahan sikap dan karya lukisannya. Metode ini juga dapat melatih anak untuk lebih fokus dan dapat terlibat secara langsung dalam proses interaksi dengan orang lain.
Saat terapis membangun hubungan dengan pasien autis itulah pasien mulai mengembangkan kemampuan menyimpan dan menambah pengalaman barunya. Itulah cara kerja dan proses komunikasi dalam terapi seni, yaitu dengan menciptakan suasana positif yang sangat baik dan menyehatkan. Cara ini juga bermanfaat untuk mengurangi kecemasan dan membantu memperbaiki perkembangan emosi anak autis. (bersambung).