Menurut penjelasan Dr Erwin, di dalam meditasi terdapat beberapa tahapan, antara lain konsentrasi, relaksasi, dan meditasi itu sendiri. ”Tahap konsentrasi (saat gelombang otak pada level beta) bisa terjadi bila perhatian dipusatkan pada satu rangsangan yang dilakukan secara berulang-ulang mulai dengan cara mendengarkan suara, melafalkan kalimat atau kata-kata tertentu, bernapas, hingga gerakan melangkah seperti yang terjadi saat kita berjalan kaki,” tutur Dr Erwin.
Mari ingat-ingat lagi, mengapa sesudah berjalan umumnya kita merasa lebih santai. Sebagai sarana relaksasi, gerakan melangkah yang berulang-ulang mengkondisikan gelombang otak kita untuk masuk ke tahap level alfa, kondisi yang kita cari untuk mendapatkan rasa tenang dan nyaman.
Sebabnya, selain memproduksi hormon endorfin, pada level ini otak juga sangat terbuka terhadap segala macam bentuk informasi yang diterimanya dari panca indera.
”Kondisi itu,” Dr Erwin melanjutkan, ”sebenarnya bisa dimanfaatkan lebih jauh untuk memperbaiki gangguan emosi dan psikologi.” Caranya dengan memprogram diri sendiri agar mampu mengobati emosi negatif (hipnosis). Misalnya, dengan menanamkan pikiran positif seperti ”Saya baik-baik saja,” ”Saya kuat”, atau ”Pasti ada jalan keluarnya”.
Cara ini juga yang diterapkan oleh Rheina, yang saat menyusuri pantai baru saja putus cinta. ”Dibantu suara ombak, saya mencoba menanamkan keyakinan bahwa nantinya, Tuhan akan menyiapkan pria lain yang jauh lebih baik untuk saya,” katanya. Hasilnya? ”Saya bisa menerima kenyataan bahwa kami sudah tidak bersama lagi,” jawab Rheina, yang usai menyusuri pantai memang tampak jauh lebih tenang dan ceria. (SA)