Tugas yang terus menumpuk tersebut bisa membuat hipokampus kewalahan, dan akhirnya menyerahkannya pada alam bawah sadar untuk diproses lebih lanjut. Bila proses ini terjadi, kita akan melihat satu peristiwa yang terusss…. melekat di kepala dan setiap adegannya seolah-olah terus menari di pelupuk mata. Tergantung jenis peristiwanya memang, namun keadaan ini tak boleh dibiarkan karena bisa mengganggu kestabilan emosi. Peristiwa yang pahit bahkan bisa berlanjut pada depresi dan trauma.
Untuk mengatasinya, Hartmann percaya bahwa terapi bilateral merupakan cara efektif untuk mengoptimalkan kerja hipokampus. ”Mirip yang terjadi pada brain gym; saat berjalan kaki sebenarnya kita sedang melakukan gerakan silang yang bermanfaat untuk merangsang kerja otak. Perhatikan saja bagaimana ketika kaki kanan diayunkan, yang otomatis terayun ke depan adalah lengan kiri. Sebaliknya, ketika kaki kiri diayunkan, maka lengan kanan akan terayun ke depan.
Gerakan silang kiri-kanan-kiri-kanan yang dilakukan secara berkesinambungan itu menyebabkan belahan otak kiri dan kanan akan merangsang impuls-impuls saraf dan meneruskan pesan secara seimbang, sehingga bisa memproses informasi secara optimal.
Itulah sebabnya, beberapa orang yang menghapus stres dengan berjalan kaki umumnya bisa merasakan bagaimana bayangan peristiwa yang membuatnya tidak nyaman tersebut menjadi semakin kabur atau tampak semakin menipis,” jelasnya.
Sarana Meditasi
Masih seputar pernyataan Hartmann tadi, D. Tb. Erwin Kusuma, SpKJ (K), psikiater dari Klinik Pro V, Jakarta berpendapat bahwa jalan kaki mampu mengatasi gangguan emosi karena berperan sebagai sarana relaksasi dan meditasi. (bersambung).